BELUM TERLAMBAT UNTUK BERBAGI
Pagi kemarin, saya menjemput anak-anak dari Bogor untuk pulang ke rumah di Ciputat. Perjalanan baru memasuki kilometer ke sembilan menuju Ciputat ketika kami melewati para petugas pengumpul infak masjid di tepi dan tengah jalan. Dan kami melewati mereka begitu saja, sesaat kemudian suara kecil menegur dengan sopan, “Abi kok sudah lama nggak kasih uang buat mereka,” nada itu terdengar begitu polos namun cukup untuk membuat saya menghentikan kendaraan.
Saya memang sering terlupa untuk menunjukkan secara langsung kepada anak-anak cara berinfak. Meskipun untuk melakukannya seringkali dan tak selalu di depan mereka. Padahal, justru dengan melakukannya langsung di depan mereka, setiap orang tua tengah mengajarkan sikap kedermawanan, kepedulian, dan semangat berbagi. Ini yang nampaknya sering terlupa dari saya untuk tetap konsisten menerapkannya. Teguran dari salah seorang anak saya tadi, tentu saja menunjukkan bahwa mereka tetap membutuhkan konsistensi keteladanan yang pernah kita ajarkan sebelumnya.
“Ini pegang ya, tolong dikasih nanti kalau ada petugas pengumpul infak di pinggir jalan lagi,” seru saya kepadanya.
“Terlambat, Bi, sudah lewat petugasnya,” Duh, dua kali kalimatnya menohok saya. Saya pun hanya menjelaskan, bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Boleh jadi kita kehilangan kesempatan pertama untuk berbuat baik, tapi semestinya kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan berikutnya, dan memang, jika kita mau mengambilnya dengan cepat, kesempatan itu selalu ada, terus menerus menghampiri. Inilah uniknya, kesempatan sering tak datang dua kali. Tetapi untuk sebuah kebaikan, justru ianya yang kerap menghampiri, namun kita-lah yang mengabaikannya.
Benar saja. Lima menit lebih sedikit setelah saya memberikan masing-masing selembar ribuan kepada dua anak saya, kami pun melintasi barisan petugas pengumpul infak masjid di jalan raya Parung. Padahal, dengan uang di tangannya itu anak saya sempat mengancam, "Kalau nggak ada lagi, uangnya buat jajan Hufha aja ya...."
Saya menanggapinya dengan senyum, sebab saya tahu persis, sepanjang jalan raya Parung, Bogor, kita dapat menemui lebih dari satu barisan petugas pengumpul infak. "Abi benar, kita belum terlambat" Senangnya anak-anak memasukkan uang itu ke jaring yang disorongkan petugas ke kendaraan kami yang memperlambat lajunya.
Pelajaran pagi kemarin, semoga menjadi segurat catatan yang tak lekang tersimpan dalam lembar memorinya, bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk peduli, jangan pernah berpikir untuk tak berbagi hanya karena waktunya tak tepat. Dan tetaplah memelihara semangat berbagi kapan pun, sekali kesempatan terlewati, jutaan kesempatan lainnya pasti menunggu, bahkan menghampiri.
Sejumput doa pun terucap, semoga seluruh keturunan kami menjadi orang-orang yang peduli, memiliki semangat berbagi. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Saya yakin Tuhan mendengar harapan sederhana ini, karena saya bisa merasakan senyum-Nya hari itu.
Source:
Oleh: Bayu Gawtama
5 Apr 2006 07:45 WIB
Saya memang sering terlupa untuk menunjukkan secara langsung kepada anak-anak cara berinfak. Meskipun untuk melakukannya seringkali dan tak selalu di depan mereka. Padahal, justru dengan melakukannya langsung di depan mereka, setiap orang tua tengah mengajarkan sikap kedermawanan, kepedulian, dan semangat berbagi. Ini yang nampaknya sering terlupa dari saya untuk tetap konsisten menerapkannya. Teguran dari salah seorang anak saya tadi, tentu saja menunjukkan bahwa mereka tetap membutuhkan konsistensi keteladanan yang pernah kita ajarkan sebelumnya.
“Ini pegang ya, tolong dikasih nanti kalau ada petugas pengumpul infak di pinggir jalan lagi,” seru saya kepadanya.
“Terlambat, Bi, sudah lewat petugasnya,” Duh, dua kali kalimatnya menohok saya. Saya pun hanya menjelaskan, bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Boleh jadi kita kehilangan kesempatan pertama untuk berbuat baik, tapi semestinya kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan berikutnya, dan memang, jika kita mau mengambilnya dengan cepat, kesempatan itu selalu ada, terus menerus menghampiri. Inilah uniknya, kesempatan sering tak datang dua kali. Tetapi untuk sebuah kebaikan, justru ianya yang kerap menghampiri, namun kita-lah yang mengabaikannya.
Benar saja. Lima menit lebih sedikit setelah saya memberikan masing-masing selembar ribuan kepada dua anak saya, kami pun melintasi barisan petugas pengumpul infak masjid di jalan raya Parung. Padahal, dengan uang di tangannya itu anak saya sempat mengancam, "Kalau nggak ada lagi, uangnya buat jajan Hufha aja ya...."
Saya menanggapinya dengan senyum, sebab saya tahu persis, sepanjang jalan raya Parung, Bogor, kita dapat menemui lebih dari satu barisan petugas pengumpul infak. "Abi benar, kita belum terlambat" Senangnya anak-anak memasukkan uang itu ke jaring yang disorongkan petugas ke kendaraan kami yang memperlambat lajunya.
Pelajaran pagi kemarin, semoga menjadi segurat catatan yang tak lekang tersimpan dalam lembar memorinya, bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk peduli, jangan pernah berpikir untuk tak berbagi hanya karena waktunya tak tepat. Dan tetaplah memelihara semangat berbagi kapan pun, sekali kesempatan terlewati, jutaan kesempatan lainnya pasti menunggu, bahkan menghampiri.
Sejumput doa pun terucap, semoga seluruh keturunan kami menjadi orang-orang yang peduli, memiliki semangat berbagi. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Saya yakin Tuhan mendengar harapan sederhana ini, karena saya bisa merasakan senyum-Nya hari itu.
Source:
Oleh: Bayu Gawtama
5 Apr 2006 07:45 WIB
No comments:
Post a Comment